
Sejak ditanam pada tanggal 13 Maret 2025 lalu, tanaman Sorgum (Sorghum bicolor L. Moench) yang bibitnya diperoleh dari KEHATI akan segera dipanen.
Tanaman sorgum tersebut di tanam oleh Yatno (40) dan Warti (37) di pekarangan depan rumah seluas 30 meter persegi.
Berbekal pengetahuan menanam jagung dan mencari informasi melalui media online Yatno merawat tanaman dengan cara memberi tambahan pupuk dari kotoran kambing, menyiram dan menjaga dari gangguan hewan domestik maupun liar yang berkeliaran di sekitar lahan.
Tidak ada perawatan khusus dalam budidaya tersebut. Murni menggunakan insting dan pengalaman budidaya biji-bijian pada umumnya.
Selama proses menanam Yatno dan Warti mendapat berbagai respon dari warga sekitar yang hampir tidak mengenal apa itu sorgum.
Ada tetangga yang terheran-heran dengan apa yang ditanam suami istri tersebut. Setiap pertanyaan dari warga selalu dijawab dengan penuh kesabaran meskipun belum dapat dijelaskan secara rinci manfaat, cara pengolahan dan pasarnya.
Kegigihan dan kesabaran tersebut berdampak pula dengan salah satu warga yang kemudian meminta bibit yang dimiliki untuk ditanam dilahan pekarangnya. Warga tersebut bernama Gunawan (44), salah satu tetangga yang berprofesi sebagai petani dan sangat memperhatikan pertanian sebagai sumber penghidupan masyarakat setempat.
Gunawan sendiri merupakan petani yang oleh warga sekitar dianggap sangat mumpuni dalam budidaya berbagai tanaman. Dari Gunawan pula Yatno banyak belajar tentang berbagai tanaman yang sudah banyak di tanam selama ini.
Jika dihitung lebih dari 10 warga yang penasaran dengan sorgum yang ditanam, bahkan ada yang menganggap bahwa biji sorgum yang muncul pada bagian atas adalah bunga yang akan mekar pada waktunya.
Warti ada asupan pengetahuan terkait budidaya dan pasca panen, utamanya dalam pengolahan. Butuh pengetahuan pengolahan dengan teknologi yang mudah dan murah, sebab jika teknologi pengolahan memerlukan perangkat yang mahal dan sulit, akan cenderung ditinggalkan oleh orang.
Keberadaan beras yang saat ini mudah didapat oleh sebagian besar orang bisa jadi merupakan hal yang menyebabkan pangan lokal semacam sorgum mulai ditinggalkan oleh sebagian besar orang.
Harapan lain jika sorgum masih belum dapat menggantikan beras adalah adanya pengetahuan pengolahan tertentu yang dapat mengurangi pengeluaran keluarga, misalkan dijadikan bahan dasar untuk produksi pakan ternak atau olahan lain yang memiliki pasar menjanjikan.
Tanaman Sejarah
Menurut Madi (65), seorang tokoh masyarakat Desa Banyurip, tanaman sorgum pernah menjadi bagian dari sumber pangan di desa sekitar empat puluh tahun lalu. Tanaman ini ditanam dan dijadikan salah satu sumber pangan selain baras dan singkong.
Waktu itu tanaman di budidayakan dengan perlakuan yang tidak istimewa, artinya hanya ditanam, dipanen kemudian dimasak seperti layaknya menanak nasi. Dapat dikombinasikan dengan lauk hewani maupun dengan olahan sayur. Sama persis seperti makan nasi pada masa sekarang.
Budaya menanam dan mengkonsumsi sorgum perlahan mulai menghilang sehingga generasi sekarang sudah tidak mengenalnya lagi. Cara menanam sorgum cenderung lebih minimal input dibanding dengan biji-bijian atau palawija lain.
Namun demikian penggunaan input dapat meningkatkan hasil panen dan keberlangsungan kelestarian lahan dan lingkungan.
Jejak tersisa
Di perbatasan Desa Banyurip ditemukan rimbunan tanaman sorgum yang tumbuh liar. Letaknya berdekatan dengan sebuah warung penyedia pakan burung dijalan utama desa.
Saat ditemukan tanaman ini dalam kondisi tidak terawat namun secara fisik tumbuh dengan subur. Beberapa tangkai nampak menghitam dengan kndisi batang yang mengering. Dibagian lain ditemukan biji telah sempurna terbentuk menunggu beberapa saat untuk siap dipetik. Dan dibagian lain muncul calon biji yang siap tumbuh menjadi sekumpulan malai biji.
Oleh Wawan (30) pemilik warung, biji sorgum ini dipetik saat kering dan berwarna hitam dan diberikan kepada burung yang ia pelihara.
Wawan sendiri tidak paham dengan karakter tanaman tersebut. Yang ia ketahui itu adalah jagung Cantel (Jawa) yang bisa diberikan kepada burung dalam bentuk biji kering. Selebihnya ia tidak tahu, bahkan nama sorgumpun cukup asing buat Agus.
Sebagai orang yang memanfaatkan sorgum, Agus tidak terlalu ingat kapan tanaman ini mulai tumbuah dan siapa yang menanam. Ia tahu bahwa jenis jagung tersebut bisa diberikan kepada burung ketika ada salah satu temannya yang menyampaikan bahwa biji tanaman ini dapat ditanam dengan mudah dan bijinya dapat diberikan kepada berbagai jenis burung.
Jejak informasi sorgum yang diperoleh dari masyarakat setempat menyebutkan bahwa sudah ada masyarakat dari wilayah lain yang melakukan budidaya sorgum, akan tetapi nilai jual panen dari tanaman ini tidak begitu menggembirakan, sehingga cenderung ditinggalkan.
Tidak ada inovasi dalam mengolah hasil panen menjadi bentuk yang menarik atau menjadikannya komoditas unggulan. Apalagi dijadikan alternatif pangan bagi manusia.
Kesimpulan dan hipotesa yang dapat diperoleh dari cerita ini adalah perlunya desiminasi diversifikasi fungsi sorgum dan teknologi tepat guna yang mudah dan murah bagi masyarakat. Kekayaan pengetahuan bisa digali kembali dari tokoh dan orang tertentu di desa yang pernah bersentuhan dengan sorgum, juga dengan para ahli yang memiliki pengetahuan cukup.
Selama ini Warti dan Yatno tidak memiliki pengetahuan cara budidaya sorgum, bahkan manfaat dan pengolahan pasca panennya.
Saat pertanyaan tentang cara panen dan mengolahnya, Warti menjawab akan berdiskusi dengan LPTP dan akan mengajak LPTP untuk melakukan panen sorgum.
Untuk menjawab rasa penasaran warga yang selama ini bertanya, Warti akan mencoba mengajak mencicipi hasil olahan sorgum yang sudah dimasak, termasuk mengundang LPTP untuk melihat hasil yang sudah di aplikasikan meskipun dengan pengetahuan yang terbatas.